Friday, June 22, 2012

Anotasi Bibliografi



ANOTASI  BIBLIOGRAFI
KARAKTER SERTA MODEL KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN (BAHASA)
PADA PENDIDIKAN MENENGAH UMUM

Diajukan untuk Memenuhi  Tugas
Mata Kuliah PK941 Kurikulum Satuan Pendidikan


Dosen: 
Dr. Hj. Hansiswany Kamarga, M.Pd.







Oleh:
Mohamad  Yunus
NIM 054095




PROGRAM S3 PENGEMBANGAN KURIKULUM
SEKOLAH PASCASARJANA UPI BANDUNG
JANUARI 2007



 
ANOTASI  BIBLIOGRAFI TENTANG
KARAKTER SERTA MODEL KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN (BAHASA)   PADA PENDIDIKAN MENENGAH UMUM
 (Mohamad  Yunus)

Amstrong, D.G. dan Savage, T.R. (1983). Secondary Education: An Introduction. New York: Macmillan Publ. Co., Inc., (466 halaman)

Pendidikan menengah terus-menerus mengalami perubahan. Perubahan itu terjadi karena keunikan peserta didik, lingkungan yang berkembang tiada henti, serta implikasinya bagi tujuan, muatan, guru, dan pengelolaan pembelajaran pada pendidikan menengah umum (PMU). Pemikiran itulah tampaknya yang memicu penulis menyusun buku ini. Isu-isu yang terkait dengan PMU dalam buku ini dikemas ke dalam 20 bab, yang dibagi ke dalam empat bagian.
Bagian pertama mengupas hubungan antara masyarakat dengan sekolah, termasuk latar belakang tumbuh-kembang senior high school dan intermediate school, serta isu-isu dan inovasi yang terjadi di lingkungan PMU. Pada bagian kedua penulis memfokuskan bahasannya pada topik-topik penting yang terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Melalui bab-bab dalam bagian ini, guru diharapkan memiliki wawasan dan kemampuan dalam mene-rapkan perencanaan pembelajaran sistem, termasuk di dalamnya mendiagnosis kebutuhan siswa, memilih isi dan menetapkan tujuan, mengidentifikasi teknik-teknik pembelajaran, memotivasi siswa, melaksanakan program, serta mengukur, mengevaluasi, dan melaporkan kemajuan belajar siswa.
Bagian tiga buku ini mengupas habis tentang siswa PMU itu sendiri. Bagian ini menyoroti profil serta hak dan tanggung jawab siswa, program untuk siswa berbakat dan berkelainan,  serta kesulitan baca yang dialami siswa PMU.  Bagian terakhir buku ini memusatkan sajiannya pada guru PMU. Melalui bab-bab dalam bagian ini, pembaca diajak untuk memahami lebih baik tentang profil, peranan, dan tanggung jawab guru, pengelolaan kelas dan disiplin guru, serta panduan bagi guru untuk menentukan posisinya dalam konteks PMU.

Aplebee, A.N. dan Purves, A.C. (1992).  Literature and the English Language Arts. Dalam  Philip W. Jackson (Ed.), Handbook of Research on Curriculum: A Project of American Educational Research Association. New York: Macmillan.

Tulisan yang sangat padat ini mengupas perkembangan dan hubungan bahasa dan  sastra (Inggris) serta teori dan riset tentang kurikulum bahasa, khususnya pada level pendidikan menengah. Penulis mengemas sajiannya atas tiga bagian.
Bagian kesatu memaparkan sejarah kemunculan bahasa Inggris sebagai suatu bidang kurikulum di sekolah USA, yang melewati empat tradisi. Keempat tradisi itu: (1) tradisi etik, yang menekankan belajar bahasa pada kegiatan membaca teks moral dan keagamaan, (2) tradisi analogi klasik, yang memfo-kuskan belajar bahasa pada memorisasi definisi dan kaidah bahasa, retorik dan orasi, karya sastra klasik, us sejarah sastra, dan filologi, (3) tradisi non-akademik, yang menekankan pada keterampilan berbahasa dan menempatkan apresiasi sastra sebagai kegiatan ekstrakurikuler, serta (4) institusionalisasi kurikulum bahasa Inggris oleh the Committee of Ten, yang menempatkan bahasa Inggris sebagai salah satu dari sembilan bidang inti kurikulum.
Bagian kedua artikel ini membahas dasar pemikiran yang mewarnai per-kembangan kurikulum bahasa Inggris, yang meliputi: (1) reorientasi kurikulum bahasa dari kepentingan akademik ke kepentingan peserta didik, (2) kurikulum bahasa harus mengaktifkan siswa dan membekali mereka dengan pengalaman dan kemampuan berbahasa yang bermanfaat bagi kepentingan hidup dan  dunia kerja siswa (progresivisme), (3), kurikulum bahasa diarahkan pada penguasaan kemampuan komunikasi, (4) kurikulum bahasa akademik yang sangat menekan-kan pada pendekatan strukturalis dan transformasi bagi bahasa, serta New Criticism dalam sastra, (5) eklektivisasi kurikulum bahasa melalui pemaduan berbagai pemikiran sebelumnya, serta (6) kurikulum bahasa menekankan pada penguasaan keterampilan dan strategi berbahasa yang dapat mendukung proses belajar bahasa (constructivisme Vygotsky).
Pada bagian akhir artikel ini, penulis mengulas pelbagai isu aktual tentang kurikulum bahasa dan diperkirakan akan terus berlanjut. Isu itu berkenaan dengan prinsip-prinsip umum kurikulum yang diwarnai oleh pemikiran kon-struktivisme sosial, diferensiasi kurikulum, asesmen, peranan media noncetak dan teknologi, serta muatan bahasa dan sastra dalam kurikulum bahasa. 

Beane, J.A. (1997). Curriculum Integrated: Designing the Core of Democratic Education. New York: Teachers College, Columbia University.

 Setidaknya ada tiga hal yang mendorong Beane untuk menulis buku ini. Pertama, ketika menulis buku  A Middle School Curriculum: From Rhetoric to Reality  pada tahun 1990, Beane menggunakan teori Kurikulum Integrasi (disingkat: KI)  yang sebenarnya bagi dia  sendiri konsep KI itu belum terlalu jelas. Kedua, banyaknya misinterpretasi tentang konsep KI di kalangan para pendidik. Ketiga, keinginan Beane untuk memperluas teori KI dengan menggunakan berbagai gagasan yang telah dipelajarinya selama lebih dari 30 tahun. Beranjak dari motif tersebut, penulis berharap bahwa  keberadaan buku ini akan dapat meluruskan kesalahtafsiran dan  kedangkalan konsep KI serta menerapkan dengan benar konsep tersebut dalam pembelajaran.
Konsep KI  yang dilontarkan Beane memiliki ciri pada penekanan  perenca-naan pembelajaran partisipatoris, pengetahuan kontekstual, isu-isu nyata kehi-dupan, dan pengorganisasian pembelajaran secara utuh. Penekanan itu menjadikan KI  memberikan akses yang luas dan pengetahuan yang beragam bagi siswa, serta sekaligus membuka cara untuk membuat mereka memperoleh lebih banyak dan lebih sukses dalam belajar. 
Dalam memaparkan gagasannya tentang KI, Beane membagi tulisannya ke dalam tujuah bab. Bab I dan II memfokuskan bahasannya pada ide-ide dan sejarah perkembangan konsep  KI.  Pada Bab III Beane mengungkap perdebatan yang terjadi berkenaan dengan KI. Sementara itu, pada Bab IV dan V, bertolak dari pengalamannya, Beane menyajikan gambaran penerapan KI  di kelas dan implikasinya terhadap sistem sekolah.  Selanjutnya, pada Bab VI dijelaskan posisi KI dalam perspektif pendidikan umum dan kurikulum nasional. Mengakhiri tulisannya, Beane mengulas pengalaman dan hasil risetnya mengenai kekhawatiran berbagai kalangan dalam menerapkan KI dan cara mengatasinya. 

Gavelek, J.R., dkk. 2000. Integrated Literacy Instruction. Dalam Kamil, L.M., (Ed.), Handbook of Reading Research, Volume III, hlm. 587-607. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.

Artikel ini menyajikan hasil studi kepustakaan penulis dan tim tentang pembel-ajaran integratif (disingkat: PI)dari handbook, buku, hasil penelitian, dan jurnal yang terbit sejak tahun 1800-an hingga 1990-an. Hasil studi itu menunjukkan bahwa pemikiran PI dipengaruhi oleh progresivisme Dewey dengan filosofi lintas-disiplin. Kemunculannya dimaksudkan untuk mengatasi tiga kebutuhan pendidikan, yaitu: (1) keterkaitan kegiatan pembelajaran dengan kehidupan nyata (otensitas), (2) penyajian kegiatan belajar dalam konteks (kebermaknaan), serta (3) efisiensi pembelajaran melalui penawaran daya cakup kurikulum yang lebih luas.
Tidak mudah mendefinisikan istilah PI. Terlalu banyak istilah yang digunakan dengan makna yang berbeda-beda, seperti: inter-/multi-disipliner kurikulum, integrasi kajian, integrasi pengalaman, tematik, dsb. Namun demikian, menurut penulis, pelbagai istilah yang mengacu pada konsep PI tersebut, pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok. Ketiganya ialah: (1) keterampilan berbahasa integratif, yang digunakan ketika keterampilan berbahasa diusung bersama-sama dengan bidang studi lainnya untuk mencapai sejumlah hasil akhir belajar, (2) kurikulum integratif, yang mengacu pada pengin-tegrasian isi melalui pencampuran berbagai disiplin ilmu yang dilakukan melalui keterampilan, konsep, dan sikap yang bertumpang tindih, serta (3) integrasi di dalam dan di luar sekolah, yang merupakan konseptualisasi dari PI yang menekankan pada kegiatan belajar pada lintas konteks (seperti rumah, sekolah, masyarakat, dan pekerjaan). Tipe integrasi ini mengandung pemaduan lintas proses berbahasa atau pelajaran sekolah yang terjadi di dalam dan di luar kelas sekolah itu sendiri.

Glover, D. dan Law, S. (2002). Improving Learning: Professional Practice in Secondary School. Philadelphia: Open University Press.

Buku ini merupakan hasil penelitian panjang yang dilakukan oleh akade-misi dan praktisi yang tertarik untuk mengetahui konteks seperti apa yang membuat kegiatan mengajar dan belajar di sekolah menengah dapat berlang-sung secara efektif. Sajian dalam buku ini bertolak dari sebuah premis bahwa kegiatan pembelajaran  tidak pernah terjadi dalam situasi yang isolatif, melain-kan tak terlepas dari pengaruh lingkungan fisik, sosio-ekonomi, dan budaya sekolah, hubungan guru-siswa, gaya belajar siswa, dan gaya mengajar guru.
Sajian isi buku dikemas ke dalam 10 bab. Bab 1 mengemukakan konteks belajar, yang mencakup ciri sekolah yang baik, budaya, kepemimpinan, manaje-men, dan komitmen guru. Bab 2 menjelaskan latar belakang riset dan sejumlah prinsip penelitian tindakan yang digunakan sebagai titik tolak riset, serta cara mengukur persepsi warga sekolah (pimpinan, guru, admisi, dan siswa) serta pemangku kepentingan (stakeholder) tentang hal-hal yang terkait dengan profil dan kemajuan sekolah. Pada bab 3-8 disajikan ikhtisar temuan tentang lingkungan, harapan, tantangan, praktik, hubungan, dan segenap hal yang mendukung terjadinya kegiatan mengajar-belajar yang menerapkan berbagai pendekatan pembelajaran yang dapat melayani bermacam gaya belajar siswa. Bab 9 menggambarkan pelbagai upaya yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran, penghormatan, dan sekaligus keadilan gender. Bab 10 mengungkap-kan hal-hal yang dilakukan untuk menerjadikan perubahan, dalam hal ini pembelajaran yang mengakomodasi keragaman gaya belajar siswa.
Melalui kesepuluh bab itu, penulis berupaya untuk menyajikan hasil riset-nya dengan dibingkai oleh kerangka teoretik yang cukup solid untuk dapat menerjadikan perbaikan dan peningkatan mutu kegiatan pembelajaran. Agar masing-masing bab itu dapat dipahami dan diterapkan dengan mudah baik oleh pengambil kebijakan, pengawas, kepala sekolah, dan guru, penulis pun meleng-kapinya dengan kiat-kiat dan contoh-contoh praktis.

Gregory, G.H. dan Chapman, C. (2002). Differentiated Instructional Strategies: One Size Doesn’t Fit  All. California: Corwin Press, Inc.

Siswa adalah entitas yang unik. Masing-masing memiliki pengalaman, profil, minat,  dan kebutuhan yang tidak persis sama. Memberikan layanan pendidikan yang seragam bagi semua siswa berarti memaksakan sebuah ukuran ‘pakaian’ yang sama bagi semuanya. Hasilnya, pasti akan mengecewakan. Oleh karena itu, optimalisasi potensi belajar siswa hanya akan terjadi apabila guru dalam suatu kelas menerapkan penerapan kurikulum berdiferensiasi dalam pembelajaran. Diferensiasi itu dapat dilakukan dalam bentuk keragaman isi pelajaran, perangkat asesmen, tugas unjuk kerja, serta strategi instruksional, yang diselaraskan dengan pengalaman dan kebutuhan anak.
Buku yang sarat dengan konsep dan contoh penerapan kurikulum berdi-ferensiasi ini terdiri dari pendahuluan dan enam bab. Pendahuluan menjelaskan konsep, dasar, dan perencanaan pembelajaran berdiferensiasi (disingkat: PB).  Bab 1 membahas cara-cara membangun iklim belajar dan teknik mengajar dalam PB. Bab 2 mengupas cra memahami pebelajar, termasuk gaya belajar, gaya pikir, dan pemanfaatannya untuk kepentingan belajar di kelas. Bab 3 memaparkan konsep dan cara mengases pebelajar yang dilakukan di awal, ketika, dan di akhir pembelajaran. Bab 4 membicarakan pengelolaan kelas dalam PB melalui pelbagai pendekatan yang secara luwes dapat berganti-ganti. Bab 5 menguraikan  strategi instruksional yang dapat mendukung keberhasilan belajar siswa dalam kelas PB. Terakhir, pada Bab 6 penulis menjabarkan pendekatan kurikulum dalam meng-implementasikan PB, yang terdiri dari pendekatan sentra, pemecahan masalah, dan projek.
Hall, T.  (2005).  Differentiated Instruction. [Online]. Tersedia: http://www.cast.org/ publications/ ncac_diffinstruct.hmtl. [21 November 2005].

Sesuai dengan judulnya, tulisan ini mengungkapkan tentang apa, mengapa, dan bagaimana menyelenggarakan pembelajaran yang dapat memenuhi keadaan dan kebutuhan siswa yang bervariasi.  Keperluan tersebut dapat dipe-nuhi dengan menerapkan Model Pembelajaran Berdiferensiasi, yang bertolak dari premis bahwa pendekatan pembelajaran harus beragam dan memberikan pilihan kepada siswa,  sesuai dengan keanekaan individu siswa di kelas. Aspek-aspek yang didiferensiasi dapat berupa isi, proses, dan produk. Bebagai hasil kajian   membuktikan bahwa penggunaan model ini sangat menjanjikan karena dapat mendorong siswa  memaksimalkan kegiatan belajarnya.
Penerapan model pembelajaran ini tidak mudah karena memerlukan penyiapan dan pelaksanaan yang cukup rumit. Untuk dapat mewujudkan model ini, penulis menyampaikan sejumlah saran yang perlu diperhatikan. Pertama, memahami konsep kunci model ini sampai  mengerti betul sehingga pembel-ajaran memiliki fokus dan siswa dapat belajar dengan baik. Kedua, menggunakan asesmen sebagai alat pengajaran untuk memantau dan menilai bahwa pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa dan dapat mengoptimalkan kegiatan belajar mereka. Ketiga, menakankan berpikir kritis dan kreatif  sebagai tujuan dalam mendesain pelajaran. Keempat, melibatkan seluruh siswa melalui tugas dan kegiatan yang bervariasi. Terakhir, menjaga  keseimbangan antara apa yang ditugaskan guru dengan tugas yang dipilih siswa.

He Ji Sheng. (2000).   A Cognitive Models for  Teaching Reading Comprehension. Dalam Forum,  Vol. 38, No.4, Oktober-Desember. [Online]. Tersedia: http:// exchange. state.gov/forum/p-12.htm [21 November 2005].

Artikel ini menyajikan aternatif pengajaran membaca dengan Model Kognitif (disingkat: MK), yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pengajaran membaca pemahaman yang cenderung berfokus pada level pema-haman permukaan dan mengabaikan level pemahaman yang mendalam.  Model yang diadaptasi dari taksonomi Wallen dan Barret ini, memiliki empat aspek kegiatan utama, yang terdiri dari: (1) latihan pemahaman literal; (2) latihan pemahaman inferensial;  (3) evaluasi penguasaan mereka tentang substansi baca-an dari berbagai perspektif; serta (4) apresiasi, yang berkaitan dengan dampak psikologis dan estetik siswa.
Keuntungan dan ciri aplikasi MK adalah (1)  dapat diterapkan untuk berbagai level keterampilan dan kebutuhan; (2) membantu siswa memahami bacaan dari berbagai perspektif; (3) memungkinkan siswa untuk menganalisis dan meringkas bacaan  dengan baik; (4)   mempertinggi memorisasi dan kecepat-an baca; (5) mengembangkan berpikir kritis dan keterampilan menyimpulkan; serta memperbaiki keterampilan pengorganisasian siswa dan ekspresi diri. Penerapan model ini sangat memerlukan daya pikir dan kesiapan yang hati-hati dari guru.

James, L.A., Abbott, M., dan Greenwood, Ch.R. (2001). How Adam Became a Writer: Winning Writing Strategis for Low-Achieving Students. Dalam Teaching Excep-tional Children, Vol. 33, No. 3.  [Online]. Tersedia: http:// www.dldcec.org/pdf.  [21 November 2005].

Sebagaimana tercermin dalam judul, artikel ini membahas model pembelajaran menulis yang bagi siswa yang kemampuan menulisnya rendah, di bawah rata-rata kelas. Model ini bekerja melalui cara: (1) membagi siswa ke dalam kelompok kemampuan tinggi dan rendah dalam menulis; (2) menggarap keseluruhan kelas, tetapi juga menyediakan mini-lesson untuk sejumlah individu dengan kemampuan rendah dalam menulis; (3) menggunakan graphic organizers dan outline untuk memetakan dan menata gagasan; (4) menulis karangan dengan menggunakan pendekatan menulis-proses, yang kadang-kadang diselingi workshop untuk membahas dan memberikan balikan atas tulisan masing-masing siswa serta (5) melakukan penilaian dengan menggunakan rubrik enam-sifat (the six-trait assessment model) untuk mendiagnosis dan memantau kemajuan tujuan tersebut. 
Hasilnya, dalam sembilan minggu, siswa yang berkemampuan rendah  dalam menulis mencapai hasil yang luar biasa, bahkan beberapa di antaranya melampaui kelompok anak yang berkemampuan tinggi dalam menulis.

Megyeri, K.A. (2006).  Infusing Service-Learning into the Language Arts Curriculum. [Online]. Tersedia: http://ici.umn.edu/products/impact/163/163.pdf. [16 November 2006]

Penulis artikel ini adalah guru sekolah menengah yang sebelumnya menga-jar bahasa Inggris dengan beranjak dari buku-buku sastra klasik. Selanjutnya, ia beralih menggunakan pendekatan tematik yang dipadukan dengan prinsip-prinsip service learning, yang dipayungi oleh tema seperti: komunikasi, kebebas-an, hubungan, perubahan, dsb. Selama lima tahun ia melakukan kajian atas pembelajaran yang dilakukan, yang terdiri dari 10 sesi  kegiatan belajar bahasa.
Pertama, siswa bekerja sama dengan orang tuanya menulis, mendiskusikan, dan mempublikasikan  puisi atau esai yang mengungkapkan perasaan yang pertama kali muncul ketika memasuki dunia dewasa. Kedua, orang tua siswa diminta membuat surat kepada anaknya yang berisi nasihat dan hal-hal yang mengesankan dari kehidupan bersama anaknya. Ketiga, untuk mengajarkan surat bisnis, siswa diminta menulis kepada selebritis yang dipilihnya serta meminta benda kenangan darinya. Keempat, untuk mengajarkan surat kepada sahabat, siswa menulis dan mengirim surat kepada seniornya untuk meminta nasihat tentang keberhasilan mereka belajar. Kelima, dalam kaitannya dengan laporan buku tradisional, siswa diminta membaca dan menulis tentang suatu buku yang mempengaruhi hidupnya. Keenam, siswa diminta menghayati dan menuliskan kehidupan orang lain. Ketujuh, siswa internasional diminta menerjemahkan booklet informasi rumah sakit ke dalam bahasa asal mereka. Kedelapan, siswa mewawancarai dan menulis biografi anggota keluarganya yang lebih tua. Kesembilan, siswa menulis cerita personal, memberikan gambar dan ilustrasi, serta membuplikasikannya di perpustakaan sekolah. Terakhir, siswa menulis sebuah karya penelitian yang bertolak dari permasalahan sosial, seperti kehamilan, kelaparan, pelanggaran, kemiskinan, dan lingkungan, serta mengirimkannya kepada instansi, perusahaan, atau tokoh yang relevan.
Kegiatan belajar itu melibatkan orang lain yang ternyata dapat memberikan dukungan belajar kepada siswa. Dukungan itu tak hanya terkait dengan spirit dan kemampuan berbahasa anak, tetapi juga penghayatan anak tentang kehidupan nyata. Dari amatan terhadap para siswa itu, penulis menemukan bahwa pengalaman belajar yang mereka peroleh membuatnya sangat terbantu dalam pengembangan akademik dan karier mereka selanjutnya.

Meinbach, A.M., Rothlein, L., dan Fredericks, A. D. (1995). The Complete Guide to Thematic Units: Creating the Integrated Curriculum. Norwood, MA: Christopher-Gordon.

Seiring dengan mengedepannya pembelajaran bahasa dengan ancangan Pembelajaran Integratif oleh John Dewey, Literature Based Instruction yang diga-gas oleh Louis Rosenblatt dan Whole Languge yang diangkat oleh Kenneth S.  Goodman,  mengemuka pula pembelajaran tematik. Pada dasarnya, tematik adalah pembelajaran yang juga digunakan dalam  ketiga ancangan sebelumnya dengan menggunakan tema sebagai wadah yang menjembatani antarberbagai kegiatan belajar bahasa dalam belajar bahasa itu sendiri atau lintas kurikulum.  
Penulis buku ini menyebut pembelajaran tematik dengan  unit tematik, yang didefinisikannya sebagai “the epitome of whole language teaching: students use language productively to answer self-initiated questions and satisfy their own inherent and natural curiosity about the world around them.” Untuk menghindari terjadinya tematik semu, penulis menegaskan bahwa pendekatan tematik itu dicirikan dengan: (1) pemaduan dalam penataan, pengurutan, dan pengorganisasian yang baik dari strategi, kegiatan, kesastraan, dan pelbagai bahan ajar yang digunakan untuk memperluas suatu konsep tertentu, (2) multidisiplin dan multidimensi, (3) responsif terhadap minat, kebisaan, siswa, dan kebutuhan siswa, serta (4) menawarkan siswa untuk belajar dalam konteks yang realistik dengan sumber yang kaya dan beraneka.
Untuk menjelaskan apa, mengapa, dan bagamana menerjadikan unit tematik dalam pembelajaran, penulis buku ini mengungkapkannya dalam dua bagian. Bagian  I terdiri dari bab 1-4, yang menguraikan konsep beserta keung-gulan unit tematik bagi guru dan siswa, perancangan, strategi penerapan, dan penilaian dalam pembelajaran tematik, serta pelibatan orang tua dan masyarakat dalam pembelajaran. Bagian II memaparkan rambu-rambu dan contoh-contoh praktis tentang pembelajaran intra-/antar-disiplin dengan menerapkan prinsip-prinsip unit tematik.

Mellow, J.D.  (2002). Toward Principled Eclecticisme in Language Teaching: The Two-Dimensional Model and Centring Principle. Dalam TESL-EJ,  Vol. 5, No. 4, Maret. [Online]. Tersedia: http://tesl-ej.org/ej34/a7.   [20  November 2006].

Paper ini mengusulkan prinsip-prinsip untuk mengelompokkan, memilih, dan mengurutkan aktivitas belajar-mengajar untuk mencapai tujuan penerapan prinsip-prinsip eklektisisme dalam pembelajaran bahasa. Aktivitas belajar-mengajar diklasifikasikan ke dalam Model Dua-Dimensi yang  dalam bahasa  berupa bentuk dan fungsi serta pekembangan bahasa dan belajar bahasa. Sementara Centring Principle berkaitan dengan seleksi  dan penataan  aktivitas dalam pelajaran yang mesti memelihara keterpaduan melalui pembelajaran unit dan keterlibatan siswa dalam konteks belajar. 
Penulis menyatakan bahwa penerapan prinsip eklektisisme  dengan model dua-dimensi dan centring principle dalam pembelajaran bahasa tidak mudah. Meskipun demikian,  penggunaan model tersebut memiliki dampak yang cukup baik terhadap keterlibatan siswa dan hasil belajar.



Morrow, L.M., Smith, J.K., dan Wilkinson, L.Ch., Ed. (1994). Integrated Language Arts: Controversy to Concensus. Massachusetts: Allyn & Bacon.

Kemunculan pembelajaran bahasa secara integratif (disingkat: PBI) di USA menimbulkan perdebatan seru. Kontroversi pertama  dipicu oleh  kelompok pro dan kontra atas tindak pembelajaran yang berorientasi pada: (1)  pendekatan struktural-atomistik (phonic dan gramarian), (2) kurikulum-pembelajaran yang ditentukan oleh district, (3) pengabaian hakikat belajar dan belajar bahasa anak, (4) evaluasi kemajuan belajar anak yang didominasi oleh tes terstandar, serta (5) hasil belajar bahasa yang lebih menunjukkan pada penguasaan teori bahasa dan kemampuan berbahasa sekedarnya. Kontroversi kedua disebabkan oleh banyak-nya istilah yang dianggap memiliki pengertian sama dengan PBI, padahal memi-liki nuansa yang berbeda. Ada istilah whole language, literature-based curriculum, language across curricu-lum, emergent literacy,dan integrated language arts.
Buku bunga rampai ini menyajikan pelbagai gagasan yang relatif utuh tentang PBI, mulai dari konsep PBI itu sendiri hingga penerapannya dalam pembelajaran bahasa. Buku yang terdiri dari 15 bab ini dikelompokkan ke dalam lima bagian. Bagian I terdiri atas bab 1-2. Bagian ini membahas konsep dan isu pemicu kemunculan dan kontradiksi di seputar PBI. Bagian II, yang berisi bab 3-8, menguraikan penggunaan karya sastra, buku teks, diskusi, koneksi tulis-baca, dan pengajaran phonic dalam konteks PBI. Bagian III, yang tersusun dari bab 9-11, menjabarkan strategi kolaborasi, pengajaran tematik, dan upaya meminimal-kan resiko dalam pengorganisasian kelas PBI. Bab IV, yang mencakup bab 12-14, memaparkan persoalan asesmen dan asesmen alternatif yang dapat digunakan dalam PBI, seperti asesmen otentik. Terakhir, Bagian V yang hanya terdiri dari bab 15, mengemukakan perubahan yang dapat diterjadikan di sekolah akibat  penerapan PBI.
Sajian dari kelima belas bab itu bertolak dari konsep PBI sebagai: (1) integ-rasi antaraspek materi pengajaran bahasa itu sendiri (integrasi internal), (2) integrasi pengajaran bahasa dengan bidang pelajaran lainnya (lintas kurikulum), serta (3) integrasi pengajaran bahasa dengan lingkungan masyarakat. Morrom dkk. pada akhirnya menyimpulkan bahwa penerapan PBI ini menimbulkan dampak positif berupa: (1) peolehan keutuhan dan keterpaduan kemampuan siswa, (2) keterkaitan apa yang dipelajari dengan kehidupan di luar sekolah, serta (3) efisiensi waktu pembelajaran.

Tyler, R. W. (1949). Basic  Principles of Curriculum and Instruction.  Chicago: The University of Chicago Press.

Buku klasik dan mungil ini memaparkan alasan dalam memandang, meng-analisis, dan menafsirkan program kurikulum dan pembelajaran dari suatu institusi pendidikan. Menurut penulisnya, buku ini bukanlah sebuah buku teks karena tidak memberikan panduan komprehensif, juga bukan buku bacaan suatu mata kuliah. Bukan pula suatu manual untuk konstruksi kurikulum karena tidak menggambarkan  dan memberikan kerangka rinci tahap demi tahap untuk sekolah atau akademi yang berupaya mengembangkan suatu kurikulum. Buku ini hanya memberikan kerangka mengenai  cara pandang terhadap suatu program pembelajaran yang berfungsi sebagai instrumen pendidikan.Pebelajar didorong untuk menguji alasan-alasan yang lain dan mengem-bangkan konsepsinya sendiri mengenai unsur-unsur dan hubungan antarunsur yang terlibat dalam suatu kurikulum yang efektif. 
Kerangka sajian ini bertolak dari  empat pertanyaan mendasar yang mesti dijawab dalam mengembangkan kurikulum dan merancang pembelajaran apa pun. Keempat pertanyaan mendasar itu adalah: (1) Apakah tujuan pendidikan yang semestinya dikejar dan dicapai oleh suatu sekolah? (2) Apakah pengalaman belajar yang mesti disediakan untuk mencapai tujuan tersebut? (3) Bagaimana-kah pengalaman pendidikan tersebut diorganisasikan secara efektif? (4) Bagai-manakah menentukan bahwa suatu tujuan pendidikan telah tercapai?
Buku yang dikemas dalam empat bagian ini tidaklah bermaksud menjawab secara lengkap keempat pertanyaan tersebut. Jawaban akan bervariasi dari suatu level pendidikan dengan  level pendidikan lain, dan dari suatu sekolah dengan sekolah yang lain. Buku ini menyarankan metode-metode yang digunakan untuk mengkaji dan menjawab serta menjelaskan prosedur yang dapat meman-du dalam menjawab berbagai pertanyaan tersebut untuk  menguji berbagai persoalan tentang kurikulum dan pembelajaran.

Roger, T. dan Johnson, D.W. (2000). Cooperative Learning: Two Heads Learn Better Than One. Dalam In Context: A Quarterly of Humane Sustainable  Culture.  [On-line]. Tersedia: http://www. context.org./ICLIB/IC18/Johnson.htm [20 Nov. 2005].

Tulisan ini bertolak dari suatu kenyataan bahwa interaksi antarsiswa dalam kegiatan belajar  kerap tak terperhatikan. Penulis berpendapat bahwa pada dasarnya ada tiga cara siswa berinteraksi di antara sesamanya dalam belajar. Ketiganya adalah interaksi kompetitif, interaksi individual, dan interaksi kooperatif. Dari ketiga cara interaksi itu, riset menunjukkan bahwa interaksi kooperatif dalam belajar ternyata memiliki kelebihan dalam hal: (1) capaian hasil belajar siswa lebih baik, (2) sikap yang lebih positif terhadap sekolah, mata pelajaran, dan guru, (3) hubungan antarsiswa lebih baik, serta (4) siswa  lebih efektif secara interpersonal sebagai  buah dari pengalaman kooperatif yang ditunjukkan dengan berkembangnya keterampilan berinteraksi, mau menerima perbedaan, dan dapat melihat persoalan dengan perspektif orang lain. 
Dalam situasi belajar yang kooperatif, interaksi dalam belajar ditandai dengan tumbuhnya saling ketergantungan dalam menentukan tujuan, pengupa-yaan kesepakatan kelompok, serta saling berbagi tanggung jawab dan saling mendukung. Atas dasar itu, maka penerapan model interaksi belajar kooperatif dilakukan melalui langkah: (1) memilih pelajaran yang bertolak dari  pemecahan masalah, belajar konseptual, dan berpikir divergen; (2) memilih ukuran kelompok sesuai dengan karakteristik tugas; (3) membagi kelompok, lebih baik anggota bersifat  heterogen; (3) menata kelas; (4) menyediakan bahan-bahan yang sesuai; (5) menjelaskan tugas, tujuan kerja kelompok, dan menyepakati kriteria  penilaian; serta (6) memantau kelompok ketika mereka bekerja.

0 comments:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 
free counters
>

Copyright © 2012. Elang Biru - All Rights Reserved B-Seo Versi 5 by Blog Bamz