ANOTASI
BIBLIOGRAFI
KARAKTER SERTA MODEL KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN (BAHASA)
PADA PENDIDIKAN MENENGAH UMUM
Diajukan untuk Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah PK941 Kurikulum Satuan Pendidikan
Dosen:
Dr. Hj. Hansiswany Kamarga, M.Pd.
Oleh:
Mohamad Yunus
NIM 054095
PROGRAM S3 PENGEMBANGAN KURIKULUM
SEKOLAH PASCASARJANA UPI BANDUNG
JANUARI 2007
ANOTASI
BIBLIOGRAFI TENTANG
KARAKTER SERTA MODEL KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN
(BAHASA) PADA PENDIDIKAN MENENGAH UMUM
(Mohamad
Yunus)
Amstrong, D.G.
dan Savage, T.R. (1983). Secondary
Education: An Introduction. New
York: Macmillan Publ. Co., Inc., (466 halaman)
Pendidikan menengah
terus-menerus mengalami perubahan. Perubahan itu terjadi karena keunikan
peserta didik, lingkungan yang berkembang tiada henti, serta implikasinya bagi
tujuan, muatan, guru, dan pengelolaan pembelajaran pada pendidikan menengah
umum (PMU). Pemikiran itulah tampaknya yang memicu penulis menyusun buku ini. Isu-isu
yang terkait dengan PMU dalam buku ini dikemas ke dalam 20 bab, yang dibagi ke
dalam empat bagian.
Bagian
pertama mengupas
hubungan antara masyarakat dengan sekolah, termasuk latar belakang
tumbuh-kembang senior high school dan
intermediate school, serta isu-isu
dan inovasi yang terjadi di lingkungan PMU. Pada bagian kedua penulis memfokuskan bahasannya pada topik-topik penting
yang terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Melalui bab-bab
dalam bagian ini, guru diharapkan memiliki wawasan dan kemampuan dalam mene-rapkan
perencanaan pembelajaran sistem, termasuk di dalamnya mendiagnosis kebutuhan
siswa, memilih isi dan menetapkan tujuan, mengidentifikasi teknik-teknik
pembelajaran, memotivasi siswa, melaksanakan program, serta mengukur,
mengevaluasi, dan melaporkan kemajuan belajar siswa.
Bagian tiga buku
ini mengupas habis tentang siswa PMU itu sendiri. Bagian ini menyoroti profil
serta hak dan tanggung jawab siswa, program untuk siswa berbakat dan
berkelainan, serta kesulitan baca yang
dialami siswa PMU. Bagian terakhir buku ini memusatkan sajiannya pada guru PMU.
Melalui bab-bab dalam bagian ini, pembaca diajak untuk memahami lebih baik
tentang profil, peranan, dan tanggung jawab guru, pengelolaan kelas dan
disiplin guru, serta panduan bagi guru untuk menentukan posisinya dalam konteks
PMU.
Aplebee, A.N. dan Purves, A.C. (1992). Literature and the English Language Arts.
Dalam Philip W. Jackson (Ed.), Handbook of Research on Curriculum: A
Project of American Educational Research Association. New York: Macmillan.
Tulisan yang sangat
padat ini mengupas perkembangan dan hubungan bahasa dan sastra (Inggris) serta teori dan riset
tentang kurikulum bahasa, khususnya pada level pendidikan menengah. Penulis
mengemas sajiannya atas tiga bagian.
Bagian
kesatu memaparkan
sejarah kemunculan bahasa Inggris sebagai suatu bidang kurikulum di sekolah USA,
yang melewati empat tradisi. Keempat tradisi itu: (1) tradisi etik, yang
menekankan belajar bahasa pada kegiatan membaca teks moral dan keagamaan, (2)
tradisi analogi klasik, yang memfo-kuskan belajar bahasa pada memorisasi
definisi dan kaidah bahasa, retorik dan orasi, karya sastra klasik, us sejarah
sastra, dan filologi, (3) tradisi non-akademik, yang menekankan pada
keterampilan berbahasa dan menempatkan apresiasi sastra sebagai kegiatan
ekstrakurikuler, serta (4) institusionalisasi kurikulum bahasa Inggris oleh the
Committee of Ten, yang menempatkan bahasa Inggris sebagai salah satu dari
sembilan bidang inti kurikulum.
Bagian
kedua artikel ini
membahas dasar pemikiran yang mewarnai per-kembangan kurikulum bahasa Inggris,
yang meliputi: (1) reorientasi kurikulum bahasa dari kepentingan akademik ke kepentingan
peserta didik, (2) kurikulum bahasa harus mengaktifkan siswa dan membekali
mereka dengan pengalaman dan kemampuan berbahasa yang bermanfaat bagi kepentingan
hidup dan dunia kerja siswa (progresivisme),
(3), kurikulum bahasa diarahkan pada penguasaan kemampuan komunikasi, (4)
kurikulum bahasa akademik yang sangat menekan-kan pada pendekatan strukturalis
dan transformasi bagi bahasa, serta New Criticism dalam sastra, (5) eklektivisasi
kurikulum bahasa melalui pemaduan berbagai pemikiran sebelumnya, serta (6) kurikulum
bahasa menekankan pada penguasaan keterampilan dan strategi berbahasa yang
dapat mendukung proses belajar bahasa (constructivisme Vygotsky).
Pada bagian akhir artikel ini,
penulis mengulas pelbagai isu aktual tentang kurikulum bahasa dan diperkirakan
akan terus berlanjut. Isu itu berkenaan dengan prinsip-prinsip umum kurikulum
yang diwarnai oleh pemikiran kon-struktivisme sosial, diferensiasi kurikulum,
asesmen, peranan media noncetak dan teknologi, serta muatan bahasa dan sastra
dalam kurikulum bahasa.
Beane, J.A. (1997). Curriculum Integrated: Designing the Core of
Democratic Education. New
York: Teachers College, Columbia
University.
Setidaknya ada tiga hal yang mendorong Beane
untuk menulis buku ini. Pertama,
ketika menulis buku A Middle School Curriculum: From Rhetoric to Reality pada tahun 1990, Beane menggunakan teori
Kurikulum Integrasi (disingkat: KI) yang sebenarnya bagi dia sendiri konsep KI itu belum terlalu jelas. Kedua, banyaknya misinterpretasi tentang konsep KI di kalangan
para pendidik. Ketiga, keinginan
Beane untuk memperluas teori KI dengan menggunakan berbagai gagasan yang telah
dipelajarinya selama lebih dari 30 tahun. Beranjak dari motif tersebut, penulis
berharap bahwa keberadaan buku ini akan
dapat meluruskan kesalahtafsiran dan
kedangkalan konsep KI serta menerapkan dengan benar konsep tersebut
dalam pembelajaran.
Konsep KI yang dilontarkan Beane
memiliki ciri pada penekanan perenca-naan
pembelajaran partisipatoris, pengetahuan kontekstual, isu-isu nyata kehi-dupan,
dan pengorganisasian pembelajaran secara utuh. Penekanan itu menjadikan KI memberikan akses yang luas dan pengetahuan
yang beragam bagi siswa, serta sekaligus membuka cara untuk membuat mereka
memperoleh lebih banyak dan lebih sukses dalam belajar.
Dalam memaparkan gagasannya tentang KI, Beane membagi tulisannya ke dalam
tujuah bab. Bab I dan II memfokuskan bahasannya pada ide-ide dan sejarah perkembangan
konsep KI. Pada Bab III Beane mengungkap perdebatan yang
terjadi berkenaan dengan KI. Sementara itu, pada Bab IV dan V, bertolak dari
pengalamannya, Beane menyajikan gambaran penerapan KI di kelas dan implikasinya terhadap sistem
sekolah. Selanjutnya, pada Bab VI
dijelaskan posisi KI dalam perspektif pendidikan umum dan kurikulum nasional.
Mengakhiri tulisannya, Beane mengulas pengalaman dan hasil risetnya mengenai
kekhawatiran berbagai kalangan dalam menerapkan KI dan cara mengatasinya.
Gavelek, J.R.,
dkk. 2000. Integrated Literacy Instruction. Dalam Kamil, L.M., (Ed.), Handbook of Reading Research, Volume
III, hlm. 587-607. Mahwah, NJ:
Lawrence
Erlbaum Associates, Publisher.
Artikel ini menyajikan
hasil studi kepustakaan penulis dan tim tentang pembel-ajaran integratif
(disingkat: PI)dari handbook,
buku, hasil penelitian, dan jurnal yang terbit sejak tahun 1800-an hingga
1990-an. Hasil studi itu menunjukkan bahwa pemikiran PI dipengaruhi oleh
progresivisme Dewey dengan filosofi lintas-disiplin. Kemunculannya dimaksudkan
untuk mengatasi tiga kebutuhan pendidikan, yaitu: (1) keterkaitan kegiatan
pembelajaran dengan kehidupan nyata (otensitas), (2) penyajian kegiatan belajar
dalam konteks (kebermaknaan), serta (3) efisiensi pembelajaran melalui
penawaran daya cakup kurikulum yang lebih luas.
Tidak mudah
mendefinisikan istilah PI. Terlalu banyak istilah yang digunakan dengan makna
yang berbeda-beda, seperti: inter-/multi-disipliner kurikulum, integrasi
kajian, integrasi pengalaman, tematik, dsb. Namun demikian, menurut penulis,
pelbagai istilah yang mengacu pada konsep PI tersebut, pada dasarnya dapat
dibedakan ke dalam tiga kelompok. Ketiganya ialah: (1) keterampilan berbahasa integratif, yang digunakan ketika
keterampilan berbahasa diusung bersama-sama dengan bidang studi lainnya untuk
mencapai sejumlah hasil akhir belajar, (2) kurikulum
integratif, yang mengacu pada pengin-tegrasian isi melalui pencampuran
berbagai disiplin ilmu yang dilakukan melalui keterampilan, konsep, dan sikap
yang bertumpang tindih, serta (3) integrasi
di dalam dan di luar sekolah, yang merupakan konseptualisasi dari PI yang
menekankan pada kegiatan belajar pada lintas konteks (seperti rumah, sekolah,
masyarakat, dan pekerjaan). Tipe integrasi ini mengandung pemaduan lintas
proses berbahasa atau pelajaran sekolah yang terjadi di dalam dan di luar kelas
sekolah itu sendiri.
Glover, D. dan Law, S. (2002). Improving Learning: Professional Practice in
Secondary School. Philadelphia:
Open University Press.
Buku ini merupakan hasil
penelitian panjang yang dilakukan oleh akade-misi dan praktisi yang tertarik
untuk mengetahui konteks seperti apa yang membuat kegiatan mengajar dan belajar
di sekolah menengah dapat berlang-sung secara efektif. Sajian dalam buku ini
bertolak dari sebuah premis bahwa kegiatan pembelajaran tidak pernah terjadi dalam situasi yang
isolatif, melain-kan tak terlepas dari pengaruh lingkungan fisik,
sosio-ekonomi, dan budaya sekolah, hubungan guru-siswa, gaya
belajar siswa, dan gaya
mengajar guru.
Sajian isi buku dikemas ke dalam 10 bab. Bab 1 mengemukakan konteks
belajar, yang mencakup ciri sekolah yang baik, budaya, kepemimpinan, manaje-men,
dan komitmen guru. Bab 2 menjelaskan latar belakang riset dan sejumlah prinsip
penelitian tindakan yang digunakan sebagai titik tolak riset, serta cara
mengukur persepsi warga sekolah (pimpinan, guru, admisi, dan siswa) serta
pemangku kepentingan (stakeholder)
tentang hal-hal yang terkait dengan profil dan kemajuan sekolah. Pada bab 3-8
disajikan ikhtisar temuan tentang lingkungan, harapan, tantangan, praktik,
hubungan, dan segenap hal yang mendukung terjadinya kegiatan mengajar-belajar
yang menerapkan berbagai pendekatan pembelajaran yang dapat melayani bermacam
gaya belajar siswa. Bab 9 menggambarkan pelbagai upaya yang dilakukan untuk
menumbuhkan kesadaran, penghormatan, dan sekaligus keadilan gender. Bab 10 mengungkap-kan
hal-hal yang dilakukan untuk menerjadikan perubahan, dalam hal ini pembelajaran
yang mengakomodasi keragaman gaya belajar siswa.
Melalui kesepuluh bab itu, penulis berupaya untuk menyajikan hasil
riset-nya dengan dibingkai oleh kerangka teoretik yang cukup solid untuk dapat
menerjadikan perbaikan dan peningkatan mutu kegiatan pembelajaran. Agar
masing-masing bab itu dapat dipahami dan diterapkan dengan mudah baik oleh
pengambil kebijakan, pengawas, kepala sekolah, dan guru, penulis pun
meleng-kapinya dengan kiat-kiat dan contoh-contoh praktis.
Gregory, G.H. dan Chapman, C. (2002). Differentiated Instructional Strategies: One Size Doesn’t Fit All. California: Corwin Press, Inc.
Siswa adalah entitas
yang unik. Masing-masing memiliki pengalaman, profil, minat, dan kebutuhan yang tidak persis sama. Memberikan
layanan pendidikan yang seragam bagi semua siswa berarti memaksakan sebuah
ukuran ‘pakaian’ yang sama bagi semuanya. Hasilnya, pasti akan mengecewakan. Oleh
karena itu, optimalisasi potensi belajar siswa hanya akan terjadi apabila guru
dalam suatu kelas menerapkan penerapan kurikulum berdiferensiasi dalam
pembelajaran. Diferensiasi itu dapat dilakukan dalam bentuk keragaman isi
pelajaran, perangkat asesmen, tugas unjuk kerja, serta strategi instruksional,
yang diselaraskan dengan pengalaman dan kebutuhan anak.
Buku yang sarat dengan konsep dan contoh penerapan kurikulum
berdi-ferensiasi ini terdiri dari pendahuluan dan enam bab. Pendahuluan
menjelaskan konsep, dasar, dan perencanaan pembelajaran berdiferensiasi
(disingkat: PB). Bab 1 membahas
cara-cara membangun iklim belajar dan teknik mengajar dalam PB. Bab 2 mengupas
cra memahami pebelajar, termasuk gaya belajar, gaya pikir, dan pemanfaatannya
untuk kepentingan belajar di kelas. Bab 3 memaparkan konsep dan cara mengases
pebelajar yang dilakukan di awal, ketika, dan di akhir pembelajaran. Bab 4
membicarakan pengelolaan kelas dalam PB melalui pelbagai pendekatan yang secara
luwes dapat berganti-ganti. Bab 5 menguraikan
strategi instruksional yang dapat mendukung keberhasilan belajar siswa
dalam kelas PB. Terakhir, pada Bab 6 penulis menjabarkan pendekatan kurikulum
dalam meng-implementasikan PB, yang terdiri dari pendekatan sentra, pemecahan masalah,
dan projek.
Hall, T.
(2005). Differentiated Instruction. [Online]. Tersedia:
http://www.cast.org/ publications/ ncac_diffinstruct.hmtl. [21 November 2005].
Sesuai dengan judulnya,
tulisan ini mengungkapkan tentang apa, mengapa, dan bagaimana menyelenggarakan
pembelajaran yang dapat memenuhi keadaan dan kebutuhan siswa yang
bervariasi. Keperluan tersebut dapat
dipe-nuhi dengan menerapkan Model Pembelajaran Berdiferensiasi, yang bertolak
dari premis bahwa pendekatan pembelajaran harus beragam dan memberikan pilihan
kepada siswa, sesuai dengan keanekaan
individu siswa di kelas. Aspek-aspek yang didiferensiasi dapat berupa isi, proses,
dan produk. Bebagai hasil kajian
membuktikan bahwa penggunaan model ini sangat menjanjikan karena dapat
mendorong siswa memaksimalkan kegiatan
belajarnya.
Penerapan model pembelajaran ini tidak mudah karena memerlukan penyiapan
dan pelaksanaan yang cukup rumit. Untuk dapat mewujudkan model ini, penulis
menyampaikan sejumlah saran yang perlu diperhatikan. Pertama, memahami konsep kunci model ini sampai mengerti betul sehingga pembel-ajaran
memiliki fokus dan siswa dapat belajar dengan baik. Kedua, menggunakan asesmen sebagai alat pengajaran untuk memantau
dan menilai bahwa pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa dan dapat
mengoptimalkan kegiatan belajar mereka. Ketiga,
menakankan berpikir kritis dan kreatif
sebagai tujuan dalam mendesain pelajaran. Keempat, melibatkan seluruh siswa melalui tugas dan kegiatan yang bervariasi.
Terakhir, menjaga keseimbangan antara apa yang ditugaskan guru
dengan tugas yang dipilih siswa.
He Ji Sheng. (2000).
A Cognitive Models for Teaching Reading Comprehension. Dalam Forum,
Vol. 38, No.4, Oktober-Desember.
[Online]. Tersedia: http:// exchange. state.gov/forum/p-12.htm [21 November
2005].
Artikel ini menyajikan
aternatif pengajaran membaca dengan Model Kognitif (disingkat: MK),
yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pengajaran membaca
pemahaman yang cenderung berfokus pada level pema-haman permukaan dan
mengabaikan level pemahaman yang mendalam.
Model yang diadaptasi dari taksonomi Wallen dan Barret ini, memiliki
empat aspek kegiatan utama, yang terdiri dari: (1) latihan pemahaman literal;
(2) latihan pemahaman inferensial; (3)
evaluasi penguasaan mereka tentang substansi baca-an dari berbagai perspektif;
serta (4) apresiasi, yang berkaitan dengan dampak psikologis dan estetik siswa.
Keuntungan dan ciri
aplikasi MK adalah (1) dapat diterapkan
untuk berbagai level keterampilan dan kebutuhan; (2) membantu siswa memahami
bacaan dari berbagai perspektif; (3) memungkinkan siswa untuk menganalisis dan
meringkas bacaan dengan baik; (4) mempertinggi memorisasi dan kecepat-an baca;
(5) mengembangkan berpikir kritis dan keterampilan menyimpulkan; serta
memperbaiki keterampilan pengorganisasian siswa dan ekspresi diri. Penerapan
model ini sangat memerlukan daya pikir dan kesiapan yang hati-hati dari guru.
James, L.A., Abbott, M., dan Greenwood, Ch.R. (2001). How Adam Became a
Writer: Winning Writing Strategis for Low-Achieving Students. Dalam Teaching Excep-tional Children, Vol. 33,
No. 3.
[Online]. Tersedia: http:// www.dldcec.org/pdf. [21 November 2005].
Sebagaimana tercermin
dalam judul, artikel ini membahas model pembelajaran menulis yang bagi siswa
yang kemampuan menulisnya rendah, di bawah rata-rata kelas. Model ini bekerja
melalui cara: (1) membagi siswa ke dalam kelompok kemampuan tinggi dan rendah
dalam menulis; (2) menggarap keseluruhan kelas, tetapi juga menyediakan mini-lesson untuk sejumlah individu
dengan kemampuan rendah dalam menulis; (3) menggunakan graphic organizers dan outline
untuk memetakan dan menata gagasan; (4) menulis karangan dengan menggunakan
pendekatan menulis-proses, yang kadang-kadang diselingi workshop untuk membahas
dan memberikan balikan atas tulisan masing-masing siswa serta (5) melakukan
penilaian dengan menggunakan rubrik enam-sifat (the six-trait assessment model) untuk mendiagnosis dan memantau
kemajuan tujuan tersebut.
Hasilnya, dalam sembilan
minggu, siswa yang berkemampuan rendah
dalam menulis mencapai hasil yang luar biasa, bahkan beberapa di
antaranya melampaui kelompok anak yang berkemampuan tinggi dalam menulis.
Megyeri, K.A. (2006). Infusing
Service-Learning into the Language Arts Curriculum. [Online]. Tersedia: http://ici.umn.edu/products/impact/163/163.pdf.
[16 November 2006]
Penulis
artikel ini adalah guru sekolah menengah yang sebelumnya menga-jar bahasa
Inggris dengan beranjak dari buku-buku sastra klasik. Selanjutnya, ia beralih
menggunakan pendekatan tematik yang dipadukan dengan prinsip-prinsip service learning, yang dipayungi oleh
tema seperti: komunikasi, kebebas-an, hubungan, perubahan, dsb. Selama lima tahun ia melakukan
kajian atas pembelajaran yang dilakukan, yang terdiri dari 10 sesi kegiatan belajar bahasa.
Pertama, siswa bekerja sama dengan
orang tuanya menulis, mendiskusikan, dan mempublikasikan puisi atau esai yang mengungkapkan perasaan
yang pertama kali muncul ketika memasuki dunia dewasa. Kedua, orang tua siswa diminta membuat surat kepada anaknya yang berisi nasihat dan
hal-hal yang mengesankan dari kehidupan bersama anaknya. Ketiga, untuk mengajarkan surat
bisnis, siswa diminta menulis kepada selebritis yang dipilihnya serta meminta benda
kenangan darinya. Keempat, untuk
mengajarkan surat kepada sahabat, siswa menulis
dan mengirim surat
kepada seniornya untuk meminta nasihat tentang keberhasilan mereka belajar. Kelima, dalam kaitannya dengan laporan
buku tradisional, siswa diminta membaca dan menulis tentang suatu buku yang
mempengaruhi hidupnya. Keenam, siswa diminta menghayati dan menuliskan
kehidupan orang lain. Ketujuh, siswa
internasional diminta menerjemahkan booklet
informasi rumah sakit ke dalam bahasa asal mereka. Kedelapan, siswa mewawancarai dan menulis biografi anggota
keluarganya yang lebih tua. Kesembilan,
siswa menulis cerita personal, memberikan gambar dan ilustrasi, serta
membuplikasikannya di perpustakaan sekolah. Terakhir,
siswa menulis sebuah karya penelitian yang bertolak dari permasalahan sosial,
seperti kehamilan, kelaparan, pelanggaran, kemiskinan, dan lingkungan, serta
mengirimkannya kepada instansi, perusahaan, atau tokoh yang relevan.
Kegiatan belajar itu melibatkan orang lain
yang ternyata dapat memberikan dukungan belajar kepada siswa. Dukungan itu tak
hanya terkait dengan spirit dan kemampuan berbahasa anak, tetapi juga
penghayatan anak tentang kehidupan nyata. Dari amatan terhadap para siswa itu,
penulis menemukan bahwa pengalaman belajar yang mereka peroleh membuatnya
sangat terbantu dalam pengembangan akademik dan karier mereka selanjutnya.
Meinbach, A.M.,
Rothlein, L., dan Fredericks, A. D. (1995). The Complete Guide to Thematic Units:
Creating the Integrated Curriculum. Norwood, MA:
Christopher-Gordon.
Seiring dengan mengedepannya
pembelajaran bahasa dengan ancangan Pembelajaran Integratif oleh John Dewey, Literature Based Instruction yang
diga-gas oleh Louis Rosenblatt dan Whole
Languge yang diangkat oleh Kenneth S.
Goodman, mengemuka pula
pembelajaran tematik. Pada dasarnya, tematik adalah pembelajaran yang juga
digunakan dalam ketiga ancangan
sebelumnya dengan menggunakan tema sebagai wadah yang menjembatani
antarberbagai kegiatan belajar bahasa dalam belajar bahasa itu sendiri atau lintas
kurikulum.
Penulis buku ini
menyebut pembelajaran tematik dengan
unit tematik, yang didefinisikannya sebagai “the epitome of whole language teaching: students use language
productively to answer self-initiated questions and satisfy their own inherent
and natural curiosity about the world around them.” Untuk menghindari
terjadinya tematik semu, penulis menegaskan bahwa pendekatan tematik itu
dicirikan dengan: (1) pemaduan dalam penataan, pengurutan, dan pengorganisasian
yang baik dari strategi, kegiatan, kesastraan, dan pelbagai bahan ajar yang
digunakan untuk memperluas suatu konsep tertentu, (2) multidisiplin dan
multidimensi, (3) responsif terhadap minat, kebisaan, siswa, dan kebutuhan
siswa, serta (4) menawarkan siswa untuk belajar dalam konteks yang realistik
dengan sumber yang kaya dan beraneka.
Untuk menjelaskan apa, mengapa, dan bagamana menerjadikan unit tematik
dalam pembelajaran, penulis buku ini mengungkapkannya dalam dua bagian.
Bagian I terdiri dari bab 1-4, yang
menguraikan konsep beserta keung-gulan unit tematik bagi guru dan siswa,
perancangan, strategi penerapan, dan penilaian dalam pembelajaran tematik,
serta pelibatan orang tua dan masyarakat dalam pembelajaran. Bagian II memaparkan
rambu-rambu dan contoh-contoh praktis tentang pembelajaran
intra-/antar-disiplin dengan menerapkan prinsip-prinsip unit tematik.
Mellow, J.D.
(2002). Toward Principled
Eclecticisme in Language Teaching: The Two-Dimensional Model and Centring
Principle. Dalam TESL-EJ, Vol. 5, No. 4, Maret. [Online]. Tersedia: http://tesl-ej.org/ej34/a7. [20
November 2006].
Paper ini mengusulkan
prinsip-prinsip untuk mengelompokkan, memilih, dan mengurutkan aktivitas
belajar-mengajar untuk mencapai tujuan penerapan prinsip-prinsip eklektisisme
dalam pembelajaran bahasa. Aktivitas belajar-mengajar diklasifikasikan ke dalam
Model Dua-Dimensi yang dalam bahasa berupa bentuk dan fungsi serta pekembangan
bahasa dan belajar bahasa. Sementara Centring
Principle berkaitan dengan seleksi
dan penataan aktivitas dalam
pelajaran yang mesti memelihara keterpaduan melalui pembelajaran unit dan
keterlibatan siswa dalam konteks belajar.
Penulis menyatakan bahwa penerapan prinsip eklektisisme dengan model dua-dimensi dan centring principle dalam pembelajaran
bahasa tidak mudah. Meskipun demikian,
penggunaan model tersebut memiliki dampak yang cukup baik terhadap
keterlibatan siswa dan hasil belajar.
Morrow, L.M., Smith, J.K., dan Wilkinson, L.Ch., Ed. (1994).
Integrated Language Arts: Controversy to
Concensus. Massachusetts:
Allyn & Bacon.
Kemunculan pembelajaran bahasa secara integratif (disingkat: PBI)
di USA menimbulkan perdebatan seru. Kontroversi
pertama dipicu oleh kelompok pro dan kontra atas tindak
pembelajaran yang berorientasi pada: (1)
pendekatan struktural-atomistik (phonic
dan gramarian), (2) kurikulum-pembelajaran
yang ditentukan oleh district, (3) pengabaian
hakikat belajar dan belajar bahasa anak, (4) evaluasi kemajuan belajar anak
yang didominasi oleh tes terstandar, serta (5) hasil belajar bahasa yang lebih
menunjukkan pada penguasaan teori bahasa dan kemampuan berbahasa sekedarnya. Kontroversi
kedua disebabkan oleh banyak-nya istilah yang dianggap memiliki pengertian sama
dengan PBI, padahal memi-liki nuansa yang berbeda. Ada istilah whole language, literature-based curriculum, language across curricu-lum,
emergent literacy,dan integrated
language arts.
Buku bunga rampai ini
menyajikan pelbagai gagasan yang relatif utuh tentang PBI, mulai dari konsep
PBI itu sendiri hingga penerapannya dalam pembelajaran bahasa. Buku yang
terdiri dari 15 bab ini dikelompokkan ke dalam lima bagian. Bagian I
terdiri atas bab 1-2. Bagian ini membahas konsep dan isu pemicu kemunculan dan
kontradiksi di seputar PBI. Bagian II, yang berisi bab 3-8, menguraikan
penggunaan karya sastra, buku teks, diskusi, koneksi tulis-baca, dan pengajaran
phonic dalam konteks PBI. Bagian III,
yang tersusun dari bab 9-11, menjabarkan strategi kolaborasi, pengajaran
tematik, dan upaya meminimal-kan resiko dalam pengorganisasian kelas PBI. Bab
IV, yang mencakup bab 12-14, memaparkan persoalan asesmen dan asesmen
alternatif yang dapat digunakan dalam PBI, seperti asesmen otentik. Terakhir,
Bagian V yang hanya terdiri dari bab 15, mengemukakan perubahan yang dapat
diterjadikan di sekolah akibat penerapan
PBI.
Sajian dari kelima belas bab itu bertolak dari konsep PBI sebagai: (1)
integ-rasi antaraspek materi pengajaran bahasa itu sendiri (integrasi
internal), (2) integrasi pengajaran bahasa dengan bidang pelajaran lainnya
(lintas kurikulum), serta (3) integrasi pengajaran bahasa dengan lingkungan
masyarakat. Morrom dkk. pada akhirnya menyimpulkan bahwa penerapan PBI ini
menimbulkan dampak positif berupa: (1) peolehan keutuhan dan keterpaduan
kemampuan siswa, (2) keterkaitan apa yang dipelajari dengan kehidupan di luar
sekolah, serta (3) efisiensi waktu pembelajaran.
Tyler, R. W. (1949). Basic Principles of Curriculum
and Instruction. Chicago:
The University of
Chicago Press.
Buku klasik dan mungil
ini memaparkan alasan dalam memandang, meng-analisis, dan menafsirkan program
kurikulum dan pembelajaran dari suatu institusi pendidikan. Menurut penulisnya,
buku ini bukanlah sebuah buku teks karena tidak memberikan panduan
komprehensif, juga bukan buku bacaan suatu mata kuliah. Bukan pula suatu manual
untuk konstruksi kurikulum karena tidak menggambarkan dan memberikan kerangka rinci tahap demi
tahap untuk sekolah atau akademi yang berupaya mengembangkan suatu kurikulum.
Buku ini hanya memberikan kerangka mengenai cara pandang terhadap suatu program
pembelajaran yang berfungsi sebagai instrumen pendidikan.Pebelajar didorong
untuk menguji alasan-alasan yang lain dan mengem-bangkan konsepsinya sendiri
mengenai unsur-unsur dan hubungan antarunsur yang terlibat dalam suatu
kurikulum yang efektif.
Kerangka sajian ini
bertolak dari empat pertanyaan mendasar
yang mesti dijawab dalam mengembangkan kurikulum dan merancang pembelajaran apa
pun. Keempat pertanyaan mendasar itu adalah: (1) Apakah tujuan pendidikan yang
semestinya dikejar dan dicapai oleh suatu sekolah? (2) Apakah pengalaman
belajar yang mesti disediakan untuk mencapai tujuan tersebut? (3) Bagaimana-kah
pengalaman pendidikan tersebut diorganisasikan secara efektif? (4) Bagai-manakah
menentukan bahwa suatu tujuan pendidikan telah tercapai?
Buku yang dikemas dalam
empat bagian ini tidaklah bermaksud menjawab secara lengkap keempat pertanyaan
tersebut. Jawaban akan bervariasi dari suatu level pendidikan
dengan level pendidikan lain, dan dari
suatu sekolah dengan sekolah yang lain. Buku ini menyarankan metode-metode yang
digunakan untuk mengkaji dan menjawab serta menjelaskan prosedur yang dapat
meman-du dalam menjawab berbagai pertanyaan tersebut untuk menguji berbagai persoalan tentang kurikulum
dan pembelajaran.
Roger, T. dan Johnson, D.W. (2000). Cooperative Learning: Two Heads Learn Better Than One. Dalam In Context: A Quarterly of Humane
Sustainable Culture. [On-line]. Tersedia: http://www.
context.org./ICLIB/IC18/Johnson.htm [20 Nov. 2005].
Tulisan ini bertolak
dari suatu kenyataan bahwa interaksi antarsiswa dalam kegiatan belajar kerap tak terperhatikan. Penulis
berpendapat bahwa pada dasarnya ada tiga cara siswa berinteraksi di antara
sesamanya dalam belajar. Ketiganya adalah interaksi kompetitif, interaksi
individual, dan interaksi kooperatif. Dari ketiga cara interaksi itu, riset
menunjukkan bahwa interaksi kooperatif dalam belajar ternyata memiliki
kelebihan dalam hal: (1) capaian hasil belajar siswa lebih baik, (2) sikap yang
lebih positif terhadap sekolah, mata pelajaran, dan guru, (3) hubungan
antarsiswa lebih baik, serta (4) siswa
lebih efektif secara interpersonal sebagai buah dari pengalaman kooperatif yang
ditunjukkan dengan berkembangnya keterampilan berinteraksi, mau menerima
perbedaan, dan dapat melihat persoalan dengan perspektif orang lain.
Dalam situasi belajar yang kooperatif, interaksi dalam belajar ditandai
dengan tumbuhnya saling ketergantungan dalam menentukan tujuan, pengupa-yaan
kesepakatan kelompok, serta saling berbagi tanggung jawab dan saling mendukung.
Atas dasar itu, maka penerapan model interaksi belajar kooperatif dilakukan
melalui langkah: (1) memilih pelajaran yang bertolak dari pemecahan masalah, belajar konseptual, dan
berpikir divergen; (2) memilih ukuran kelompok sesuai dengan karakteristik
tugas; (3) membagi kelompok, lebih baik anggota bersifat heterogen; (3) menata kelas; (4) menyediakan
bahan-bahan yang sesuai; (5) menjelaskan tugas, tujuan kerja kelompok, dan
menyepakati kriteria penilaian; serta
(6) memantau kelompok ketika mereka bekerja.
0 comments:
Post a Comment