Cerita tentang ribetnya birokrasi yang didapatkan oleh Elang Biru sangat banyak sekali,,
bahkan sampai kebingungan untuk posting.. hehehehe... gak.. gak..
nah, ini cerita yang cukup untuk direnungkan juga,,
yahh siapa tahu DPR atau Presiden yang sok sibuk dan sok mewah menyempatkan membaca.. hehehe..
nah, ini cerita yang cukup untuk direnungkan juga,,
yahh siapa tahu DPR atau Presiden yang sok sibuk dan sok mewah menyempatkan membaca.. hehehe..
Saya baru saja dapat kabar dari teman tentang lowongan penerimaan tenaga pengajar di sebuah universitas swasta terbesar di Kota Makassar. Parahnya, hanya tertinggal satu hari aktif untuk menyelesaikan semua urusan administrasi persyaratan berkas yang diwajibkan oleh pihak kampus. Sebenarnya sih, saya selalu menyiapkan map coklat berisi individual portofolio yang terdiri atas fotocopy ijazah dan transkrip nilai yang telah dilegalisir, curriculum vitae, surat lamaran kerja, fotocopy KTP, surat keterangan berbadan sehat, foto ukuran 3x4 dan 4x6 serta semua berkas-berkas lainnya yang mendukung cv saya. Map seperti ini tidak hanya satu. Setidaknya saya memiliki 10 map dengan isi yang sama untuk lamaran pekerjaan dan 10 map lainnya untuk keperluan beasiswa luar negeri yang berisi fotocopy ijazah dna transkrip nilai dalam bahasa inggris yang telah dilegalisir, curriculm vitae, rekomendasi dari dosen dan pimpinan tempat saya bekerja dulu, fotocopy KTP dan akte kelahiran dalam bahasa inggris, surat keterangan berbadan sehat, proposal tesis, sertifikat TOEFL, foto dan berkas penunjang cv lainnya.
Seharusnya saya tidak mesti
keteteran seperti ini, mengingat persiapan saya yang cukup matang jauh
hari sebelumnya. Hanya saja, saya masih kekurangan satu berkas yang
disyaratkan yaitu SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). Nah ini
nih yang membuat saya harus pontang panting kesana kemari, naik turun
tangga dari satu pos ke pos berikutnya. Padahal waktu yang tersedia
begitu sempit. Jujur, saya pernah mendapat informasi 3 jam sebelum
closing date, tapi masih bisa mengikutkan diri karena memang kesiapan
berkas-berkas saya. Tapi kali ini terasa lebih berat karena harus
memulai pengurusan berkas mendadak.
Saya memang tidak pernah
mengurus ataupun membuat SKCK. Karena saya merasa tidak memerlukan hal
tersebut untuk melamar pekerjaan yang saya suka, yang sama sekali tidak
berhubungan dengan dunia Pegawai Negeri Sipil. Sejak dulu, akal dan
pribadiku yang dinamis tidak pernah bisa menerima label PNS. Mungkin
saking kuatnya tertanam dalam benakku betapa buruknya menjadi seorang
PNS. Rajin,-malas sama, pintar-bodoh juga sama. Apresiasi atas prestasi
yang diberikan kadang timpang. Begitulah fakta yang selalu kudapatkan
dilapangan. Ah! Tapi selalu ada pengecualian untuk PNS sebagai seorang
dosen ataupun pengajar. Yaa.. mungkin karena saya memang suka mengajar,
maka label PNS untuk bagian inipun ter'maaf'kan.
Karena ini yang pertama kali,
maka saya sedikit kebingungan bagaimana dan dimana mengurus SKCK ini.
Syukur, beberapa teman saya sudah berpengalaman mau berbagi informasi.
Maka kamis pagi-pagi sekali, saya meninggalkan rumah menuju kantor lurah
untuk mengambil surat pengantar. Di sana saya mengisi form yang berisi
data diri dan keperluan. Selesai pengisian, blanko itu ditanda tangani
oleh pihak kelurahan dan diberi stempel di dekat tanda tangan tersebut.
Biaya administrasi yang harus dikeluarkan sebesar Rp 10.000
Selesai urusan di kantor lurah,
saya diharuskan ke kantor polsek. Beberapa teman ada yang bilang harus
ke kecamatan dulu, tapi karena pihak kelurahan merekomendasikan langsung
ke Polsek, maka sayapun melangkahi pos kecamatan.
Di Polsek, harus memperlihatkan
surat pengantar dari kelurahan tersebut disertai dengan fotokopi KTP,
ijazah terakhir, kartu keluarga dan foto 3x4 2 lembar dan 4x6 1 lembar.
Biaya administrasi di pos ini juga sebesar Rp 10.000. Setelah itu,
petugas akan menuntun ke tempat pemeriksaan sidik jari. Di pos ini,
banyak sekali item yang harus diisi. Tentang data diri, sudah pasti ada.
Nah, yang bikin ribet, form yang diberikan berisi banyak pertanyaan
mendetil tentang tubuh kita. Jika form yang diberikan sudah terisi
lengkap dengan menyetor foto 4x6 sebanyak 2 lembar dan 3x4 sebanyak 1
lembar, maka akan dilakukan pemeriksaan sidik jari dan menetapkan rumus
yang berlaku seumur hidup. Biaya administrasi yang dikenakan sebanyak Rp
20.000 dengan kartu sidik jari berwarna kuning bisa dibawa pulang.
Selanjutnya harus ke Polres. Di
sini nih yang bikin saya kesal. Soalnya sangat tidak praktis! Siang itu,
selepas makan coto di pinggir jalan, saya menuju Masjid Babul Jannah
Urip Sumohardjo untuk sholat dzuhur. Saat mengamini do'a, sayapun
bergegas ke kantor Polres di Jl. Ahmad Yani. Tiba di sana sekitar pukul
setengah dua. Saat masuk ke dalam, seorang berseragam polisi, menahan
saya di pos security. Pertanyaannya standar, siapa? mau kemana? urusan
apa? Untuk apa? Setelah menjawab itu semua, sayapun diperbolehkan masuk
kedalam.
Berhubung ini kali pertama saya
berada di Polres, sayapun kebingungan mencari akses untuk naik ke lantai
tiga (soalnya kata bapak polisi di security tadi, saya harus ke
lantai tiga di bagian intel. Sayangnya, tidak menginstruksikan kemana
menuju lantai tiga. Mana bangunannya tidak jelas pula karena dimana-mana
hanya ruangan dengan bentuk yang sama). Mondar-mandir eh.. kembali lagi
ke garis awal. Payah! di sini tidak jelas papan informasinya atau
karena kecerdasan parsialku yang kurang yaa??.Maka sayapun bertanya
kemana jalan menuju lantai tiga.
Alhamdulillah sampai juga di
lantai tiga. Di sini, saya merasa malu sekali karena salah masuk
ruangan. Begini nih akibatnya kalau tidak tersedia papan informasi
setiap ruangan. Sambil meminta maaf pada beberapa bapak yang sedang
santap siang, sayapun menutup ruangan berpintu kaca riben itu dengan
pelan-pelan.
Berkat bantuan seseorang yang
juga sedang mengurus SKCK, sayapun akhirnya menemukan ruangan tersebut.
Saya masuk ke dalam dan menyetor berkas yang telah dilengkapi di polsek
tadi. Tidak lama kemudian, sayapun diberikan form berlembar-lembar untuk
diisi. MasyaAllahh.. pertanyaannya buanyaaaak amat! Mana menunggunya
juga tidak sebentar.
Jika form yang diisi itu sudah
lengkap, form tersebut dikembalikan dengan menyetor foto 4x6 sebanyak 2
lembar dan menunggu lagi. 20 menit berlalu, saya akhirnya dipanggil.
Kupikir, semuanya sudah beres karena SKCKnya telah diterbitkan dan
diharuskan membayar Rp 20.000 sebagai biaya administrasi (soalnya, kalau
sudah selesai transaksi pembayaran, berarti sudah selesai dong
urusannya). Nyatanya, saya harus kembali lagi ke lantai dasar untuk
memfotokopi dan mengembalikannya lagi ke lantai tiga untuk dilegalisir.
Sangat tidak praktis bukan? Masa sih polres sebesar ini tidak memiliki
mesin fotokopi diruangan?
Hmm.. pengurusan SKCK aja seribet ini. Gimana yang lainnya ya? :D
Sobat Suami Ainun Ja'far
0 comments:
Post a Comment